Monday, April 27, 2015

Memahami Puisi-puisi Muhammad Ibrahim Ilyas: TRADISI TAK DAPAT DIRAIH, MODERNISASI TAK DAPAT DITOLAK


/indra nara persada


Di dunia sastra, gerakan kembali ke tradisi setidaknya gencar dilakukan sejak pertengahan 1970-an. Hal ini sebagai paradoks dari globalisasi, atau malah antitesis dari modernisasi. Dari ranah Minangkabau (Sumatera Barat) saja misalnya, puisi-puisi Rusli Marzuki Saria, Chairul Harun, Leon Agusta, Abrar Yusra, Hamid Jabbar, Raudha Thaib alias Upita Agustine, Darman Moenir, dan Harris Effendi Thahar tak luput dari hal itu. Cukup banyak yang tak lagi mengejar kemodernan, tapi justru menerima pengaruh tradisi. Atau juga tetap dalam kemodernan tapi memasukkan/memanfaatkan unsur tradisi. Bisa juga: bergerak dalam atau ‘terjebak’ antara tradisi dan modernisasi. Ini pula yang tampaknya terjadi pada puisi-puisi Muhammad Ibrahim Ilyas (Bram).

Pada puisi ‘Konon’(1983), dapat dibaca,

1.
“Hei, aku luka!”
seorang lelaki - masih muda - berteriak membelah kelam.
”Aku butuh kesumat baru untuk kita diskusikan!”
…………………..