/indra nara persada
Di dunia sastra, gerakan kembali ke tradisi
setidaknya gencar dilakukan sejak pertengahan 1970-an. Hal ini sebagai paradoks
dari globalisasi, atau malah antitesis dari modernisasi. Dari ranah Minangkabau
(Sumatera Barat) saja misalnya, puisi-puisi Rusli Marzuki Saria, Chairul Harun,
Leon Agusta, Abrar Yusra, Hamid Jabbar, Raudha Thaib alias Upita Agustine,
Darman Moenir, dan Harris Effendi Thahar tak luput dari hal itu. Cukup banyak
yang tak lagi mengejar kemodernan, tapi justru menerima pengaruh tradisi. Atau
juga tetap dalam kemodernan tapi memasukkan/memanfaatkan unsur tradisi. Bisa
juga: bergerak dalam atau ‘terjebak’ antara tradisi dan modernisasi. Ini pula
yang tampaknya terjadi pada puisi-puisi Muhammad Ibrahim Ilyas (Bram).
Pada puisi ‘Konon’(1983),
dapat dibaca,
1.
“Hei, aku luka!”
seorang lelaki - masih muda - berteriak
membelah kelam.
”Aku butuh kesumat baru untuk kita
diskusikan!”
…………………..