/indra nara persada
Di dunia sastra, gerakan kembali ke tradisi
setidaknya gencar dilakukan sejak pertengahan 1970-an. Hal ini sebagai paradoks
dari globalisasi, atau malah antitesis dari modernisasi. Dari ranah Minangkabau
(Sumatera Barat) saja misalnya, puisi-puisi Rusli Marzuki Saria, Chairul Harun,
Leon Agusta, Abrar Yusra, Hamid Jabbar, Raudha Thaib alias Upita Agustine,
Darman Moenir, dan Harris Effendi Thahar tak luput dari hal itu. Cukup banyak
yang tak lagi mengejar kemodernan, tapi justru menerima pengaruh tradisi. Atau
juga tetap dalam kemodernan tapi memasukkan/memanfaatkan unsur tradisi. Bisa
juga: bergerak dalam atau ‘terjebak’ antara tradisi dan modernisasi. Ini pula
yang tampaknya terjadi pada puisi-puisi Muhammad Ibrahim Ilyas (Bram).
Pada puisi ‘Konon’(1983),
dapat dibaca,
1.
“Hei, aku luka!”
seorang lelaki - masih muda - berteriak
membelah kelam.
”Aku butuh kesumat baru untuk kita
diskusikan!”
…………………..
“Hai, aku lapar!”
seorang wanita - masih muda - berteriak
membelah kelam.
”Aku butuh derita baru untuk kita seminarkan!”
…………..….….
Pada bait pertama dan kedua itu, jenis
kelaminnya masih jelas. Seorang lelaki, seorang wanita, dan masih muda. Sang
lelaki ‘luka’, ‘butuh kesumat baru untuk kita diskusikan’. Sang wanita ‘lapar’,
‘butuh derita baru untuk kita seminarkan’. Dan mereka ‘berteriak membelah
kelam’.
Dapat disebut, ‘luka’ lelaki itu tersebab
tradisi dan ‘lapar’ wanita itu pada modernisasi. ‘Luka’ dan
‘lapar’ dalam
ke’kelam’an negeri, dalam ke’kelam’an tradisi. Dan mereka butuh ‘diskusi’ serta
‘seminar’, dua kata yang cenderung meng-ilmiah dan memperjelas unsur
kemodernannya (modernitas) dibanding ota di lepau.
3.
“Hei, aku merdeka!”
seseorang entah lelaki entah wanita - masih
muda – berteriak membelah kelam.
“Aku butuh kelakar baru untuk kita nikmati!”
Di tangannya ada kerinduan yang tercekik
mimpi yang pernah menjanjikan kemakmuran
……………..……
Pada bait ini, jenis kelamin menjadi tidak
jelas, tak bisa dibedakan dengan tegas, meski ia ‘merdeka’ dan masih juga
‘berteriak membelah kelam’.
Dapat dikatakan, ia adalah seseorang yang (telah) mem-banci, atau seseorang yang banci. Lebih tepatnya, seseorang yang merdeka tapi banci. Seseorang yang bebas merdeka dalam kemodernannya,
sekaligus banci. Karena itu ia bilang, “Aku butuh kelakar baru untuk kita
nikmati!”. Ia butuh ‘kelakar baru’, canda baru (yang mungkin saja
‘mancando’/janggal/tak sepantasnya), mainan baru (yang mungkin saja tak mau
disebut ‘pamenan’). Dan dalam kemodernannya, dalam ke’merdeka’annya, dalam
ke’butuh’annya pada ‘kelakar baru ’untuk di’nikmati’, ‘Di tangannya ada
kerinduan yang tercekik/mimpi yang pernah menjanjikan kemakmuran’. Larik ini
dapat disebut menyiratkan ‘kerinduan’ pada tradisi tapi ‘tercekik’ pada ‘mimpi
yang pernah menjanjikan kemakmuran’.
Ciri banci berulang pada bait keempat, tapi
dengan konotasi lebih tegas.
4.
Orang-orang berbisik membelah kelam
Orang-orang bersiap untuk berpesta
“Seorang lelaki dan seorang wanita - masih
muda - telah dikorbankan untuk luka dan lapar kita hariini. Pesta kemerdekaan
kita,” kata seorang entah lelaki entah wanita - masih muda - memberi keterangan
pada wartawan sambil menyerahkan amplop, berisi entah apa.
Bait ini menyebut ‘seorang’, bukan lagi
‘seseorang’. Perhatikan ‘….kata seorang entah lelaki entah wanita -
masih muda - memberi keterangan….’.Ini memperlihatkan pergeseran dari ‘seseorang’
yang bersifat semu, kepada ‘seorang’ yang bersifat nyata/jelas penunjukannya.
Seorang yang tegas ditunjuk sebagai banci, tapi sekaligus ‘seorang’ yang dapat
bermakna jamak/banyak. Simbolisasi dari orang-orang atau kaum muda
(disebut ‘- masih muda –‘) yang merasa ‘merdeka’, merasa lepas dan bebas dari
tradisi orang/kaum tua. ‘Orang-orang’ yang ‘berbisik membelah kelam’, yang
‘bersiap untuk berpesta’. Sedangkan yang berkelamin jelas, telah mereka
korbankan, ”Seorang lelaki dan seorang wanita - masih muda - telah dikorbankan
untuk luka dan lapar kita hari ini. Pesta kemerdekaan kita,”.
Begitulah bait pertama hingga kelima dilakoni
oleh orang-ketiga, sebagai ‘seorang’, ‘seseorang’, atau ‘orang-orang’. Maka
aku-lirik baru muncul pada bait ketujuh (setelah interval pada bait keenam).
Jika sebelumnya berusia ‘masih muda’, maka mungkin saja aku-lirik (sebagai
paradoks) dapat dilihat sebagai seorang tua atau setengah tua.
7.
Aku minum kopi
mengisap sebatang rokok, mengetik sebuah sajak
pesanan
lalu membaca koran,
hari sudah pagi.
”Ah, koran-koran sekarang!”
Tiba-tiba
aku ingat kau!
Meski terkesan santai, ternyata aku-lirik ini
masih punya hipokrisi, masih aku yang hipokrit. Ia ‘mengetik sebuah sajak
pesanan’, dan seperti mencemooh “Ah, koran-koran sekarang!” Barangkali,
kehipokritannya itu tak terlepas dari ‘keterjebakan’ antara tradisi dan
modernisasi.
Karena itu pula di akhir bait aku-lirik
bilang, ‘Tiba-tiba/aku ingat kau!’. Sebuah ketersadaran dan/atau kesadaran pada
kedirian, pada keberadaan diri. Sebuah ketersadaran dan/atau kesadaran yang
‘tersenyum’ pada ‘keterjebakan’ antara tradisi dan modernisasi.
Dan puisi ‘Konon’ ini ditutup dengan
8.
kekasih,
bolehkan aku rindu
Izinkan aku rindu. Sebuah metafora yang lebih
mempertegas ‘ketersenyuman’, ‘ketersadaran’, dan kesadaran itu.
Kata ‘kau’ pada larik ‘aku ingat kau!’ serta
kata ‘kekasih’ pada bait kedelapan dapat menjadi ‘Kau’ dan ‘Kekasih’ (dengan K
besar) sebagai penyebut Yang Maha, atau sekadar panggilan ‘kau’ atau ‘kekasih’
untuk seseorang atau seorang.
Keterjebakan antara tradisi dan modernisasi
itu dapat pula dilihat pada puisi‘Kesaksian’(1991).
Aku merasa kaya
walau hanya punya kata
Daerah di tanah kelahiran
menerakan jejak:
kata adalah pusaka
Lalu, ketika kita sampai
membuka mata pada hari ini
Bisakah hanya dengan kata
aku menghentikan impian buruk masa depan?
Dear,
aku masih saja merasa kaya
walau hanya punya kata
Hidup dalam pengaruh tradisi terasa pada lima
larik awal puisi ini. Meski begitu, ke’kaya’an dengan ‘kata’ itu pula yang
membawa aku-lirik pada ketidakyakinan, keraguan, serta mempertanyakan kekuatan
‘kata’itu sendiri. Sebuah keterjebakan. ‘Lalu, ketika kita sampai/membuka mata
pada hari ini/Bisakah hanya dengan kata/aku menghentikan impian buruk masa
depan?’
Namun tetap saja dengan ungkapan ‘merasa’,
aku-lirik merasa batinnya ‘terisi’, walau ia juga seperti menyiratkan
ketidakpastian. Sekaligus sebuah kritik terhadap diri, sebuah autokritik. ‘Dear,/aku
masih saja merasa kaya/walau hanya punya kata’.
Pada puisi ‘Ziarah Kemerdekaan’ (2011), lagi-lagi ditemukan keterjebakan antara tradisi dan
modernisasi itu. Tertulis,
4.
ketika bermain di halaman sejarah, anakcucu
negeri menemukan sejumlah pusara, di pintu gerbang kemerdekaan. entah siapa
saja yang berkubur di sana, nisannya tak terbaca. bisa jadi, inilah makam para
peneruka yang telah sampai pada kemerdekaannya
anakcucu negeri mengamati pintu gerbang besar
itu, bertimbang dengan masa depan, apakah mereka akan masuk ke dalamnya. tak
seorangpun berani menduga, seluas apa nyeri harapan yang berada di dalamnya.
Pintu gerbang kemerdekaan tak hanya bisa
ditafsir sebagai pintu gerbang kemerdekaan republik ini (Indonesia), tapi juga
pintu gerbang kemerdekaan menuju sesuatu yang modern, meninggalkan bebauan
tradisi. Dan ‘anakcucu negeri’ tak bisa mengenal siapa yang berkubur di sana,
tak bisa mendeteksi apa atau siapa yang telah dimakamkan itu. Namun ada dugaan,
‘bisa jadi inilah makam para peneruka yang telah sampai pada kemerdekaannya’.
Sebuah paradoks. Mereka, para peneruka itu, telah masuk/berada di dunia modern.
Tapi bermakam di pintu gerbang (yang menyiratkan antara tradisi dan
modernisasi).
‘Anakcucu negeri’(yang pada puisi ini
menyimbolkan anak-anak tradisi) pun ‘bertimbang dengan masa depan’, apakah
mereka akan memasuki dunia yang berlain dengan tradisi mereka? Tak seorang pun
berani menduga, memperkirakan, seluas apa keperihan/kepahitan dari harapan yang
berada di dalamnya. Karena harapan tak hanya asa yang bakal membawa kenikmatan,
tapi juga menghadirkan keperihan/kepahitan, maka mereka pun terjebak di antara
tradisi dan modernisasi.
Keterjebakan di antara tradisi dan
modernisasi, melahirkan pula keterbelahan. Keterbelahan dalam bersikap serta
menyikapi tradisi dan modernisasi itu sendiri. Pada puisi‘Surat Lain Tahun’ (2014) dapat ditemukan hal itu.
……………. aku berhenti membaca, memandang melalui
jendela yang sama, …………… migrasi detik, menit, jam,hari dan bulan telah
menjelma berhala, dan cicitcucu adam memujanya: meniup terompet, membakar
petasan dan kembang api. …………….. pada titik yang dinamai tengah malam, lihatlah
gerombolan ekstase itu, mulut-mulut khusuk yang melafalkan sepuluh angka diurut
mundur, berjamaah dan bersorak sorai merapal mantra yang sama: selamat tahun
baru!
………………… maaf, tak kulihat tahun yang baru,
bahkan sulit bagiku paham tentang apa yang mereka pertengkarkan, mereka
sepakati atau mereka sebut sebagai tahun. angka dusta tak berhingga dan ritus
hipokrisi menderet ukur, ………………….
……………….. aku sedang belajar berhitung agar
bisa menemukan lain tahun. sabarlah, akan kukirimkan sepatu baru untuk kaoru.
Tahun Baru adalah salah satu perayaan yang
mengglobal, salah satu ciri modernisasi, sekaligus penuh kepalsuan. Aku-lirik
terasa menantang perayaan itu dengan keras, dengan menyebutnya ‘angka
dusta tak berhingga dan ritus hipokrisi menderet ukur’. Namun, kemudian
ia pun terbelah. Keterbelahan yang tampak ketika menyatakan, ‘aku sedang
belajar berhitung agar bisa menemukan lain tahun.sabarlah, akan kukirimkan
sepatu baru untuk kaoru’. Sebuah sikap mendua, karena tradisi taklah dapat diraih
(begitu saja), modernisasi tak pula dapat ditolak.
KECENDERUNGAN manusia di manapun, adalah
perubahan. Kita memang sedang berubah. Mencoba meninggalkan dan menanggalkan
hal-hal yang berbau tradisional. Tapi sekaligus membaru dalam kegamangan, dalam
ke’galau’an dan ketidakpastian menerima atau tidak sebuah momentum perubahan
yang disebut modernisasi.
Metafora-metafora tentang
kegamangan/ke’galau’an pada modernisasi itu dapat ditemukan pada puisi ‘Melodi Hitam’ (1994).
….. Pabrik senjata terus dibangun dan
sawah-sawah terus ditenggelamkan, kita sedang berubah: meninggalkan catatan
usang dan membaru dengan entah yang membawa entah ke entah mana.
Di tengah konser itu, hanya kita yang
terpisah, tak bisa membunyikan apa-apa, ……………..
Di tengah irama pembaruan itu, di tengah
orkestrasi yang bernama modernisasi itu, ‘hanya kita yang terpisah, tak bisa
membunyikan apa-apa’, karena kita masih saja terikat dengan tradisi, dengan
segala hal yang berbau tradisional. Larik ini sekaligus seperti menyatakan, bahwa
dengan tradisionalitas, kita bisa saja terpisah dari modernitas, tertinggal
serta ketinggalan kereta, dalam ketakberdayaan.
Ketakberdayaan itu jugalah yang terlihat pada
puisi ‘Suara Sepi’ (1994-1997).
Demikianlah, orangtuamu terperangkap gedung
tinggi, meja kursi, makan siang, pub, hamburger dan jalan layang sambil tak
henti menggumam: back to nature, back
to nature!Dan tak ada yang bisa kulakukan ketika melihat spanduk dan
postermu membentang kata-kata: black future!
Sambil menggumam ‘back to nature, back to
nature!’ (kembali ke alam) dalam makna kembali ke tradisi, ‘orang tuamu
terperangkap’. Dan aku-lirik tak berdaya ‘ketika melihat spanduk dan postermu
membentang kata-kata: black future!’ Ini seperti anak-anak muda yang merasa
hidup di dunia masa kini, dunia modern yang konsumeristis dan kapitalistis,
ketika mengibar-kibarkan spanduk saat menonton konser atau pertunjukan band
dengan massa melimpah. Dan‘Black Future’ (Masa Depan Gelap) adalah judul album
serta lagu dari sebuah band trash metal yang bernama‘Vektor’, berasal dari Amerika
Serikat. Album ‘Black Future’ dirilis tahun 2009. Sedangkan Vektor berdiri
sejak 2002. (Secara tarikh, ini memang membingungkan, karena puisi ‘Suara Sepi’
telah diciptakan sejak 1994-1997.Tapi, boleh saja kan, sebuah puisi mendahului
zamannya?)
‘PERTEMPURAN besar’ antara tradisi dan
modernisasi, antara tradisionalitas dan modernitas, antara tradisionalisme
dengan modernisme, terasa pada puisi ‘Catatan Ruang Rias, 1997’. Pada puisi ini aku-lirik dan kamu-lirik adalah simbol
tradisionalisme, lambang kemapanan. Sedangkan ‘anak-anakku’, ‘anak-anakmu’,
serta ‘penonton’ adalah simbol hedonisme, konsumerisme, materialisme,
kapitalisme yang berbaju modernisme.
CATATAN RUANG RIAS, 1997
aku memang sedang berbenah
bila puisi terakhir sudah dituliskan, tak akan
ada tempat buat kata-kata
anak-anakku sedang sibuk mempersiapkan bahasa
baru
wajah-wajah terus dipoles dan mimpi mengabur
dalam legenda
siapapun yang lebih dulu mengetuk pintu, kamu
atau aku,
yang pulas dalam harap tak akan bangun lagi
anak-anakmu akan segera menyusun prosesi,
liang lahat masa depan menganga
dan kaca yang petak umpet di sekeliling kita
akan melahapmu
nyalakanlah lampu di seputar kaca riasmu,
nyatakanlah topeng mana yang akan kau kenakan:
menyembunyikan
ketakberdayaan atau memperbesar ruang
kepura-puraan
the show must go on, panggung menunggumu
di back atau
di front para
penonton mengarahkan senapan
kamu akan segera tahu,
mereka selalu berperan jauh lebih sempurna dari
aktor manapun
aku memang sedang berkemas
sebelum anak-anakku memakai bahasa baru
yang tak memberi tempat bagi ziarah
jadi, kuburkan aku
japan, 2404
Sungguh miris, sekaligus ironis dan tragis,
jika hasil akhirnya adalah ‘aku memang sedang berkemas/sebelum anak-anakku
memakai bahasa baru/yang tak memberi tempat bagi ziarah/jadi, kuburkan aku’.
Kepastiannya adalah ‘anak-anakku memakai bahasa baru/yang tak memberi tempat
bagi ziarah’.Apapun bahasa yang dipakai ‘anak-anakku’, tak lagi memberi tempat
bagi ‘ziarah’ pemikiran, menutup peluang untuk ‘kenangan’ (sekaligus
‘harapan’). Maka, ‘jadi, kuburkan aku’. Sebuah permintaan sekaligus kesadaran
yang sungguh miris untuk mematikan tradisi, sebuah tragedi kematian yang
sungguh tragis, sebuah kematian tanpa peluang untuk diziarahi.
Karena itu tak salah jika pada puisi ‘Suatu Kali di Hari Depan’ (1993) disebutkan,
suatu kali di hari depan
ketika tak ada ruang bagi kenangan dan harapan
sempatkah kau menjambangi nisanku?
Tradisi sungguh telah mati ketika tak ada lagi
‘ruang bagi kenangan dan harapan’. Meski, tetap saja aku-lirik melempar harap
lewat sebuah tanya, ‘sempatkah kau menjambangi nisanku?’. Melempar harap, bahwa
sesungguhnya, secara tersirat dan tersuruk, tak ada kematian yang sempurna, tak
ada kematian yang abadi. Ada kehidupan sesudah kematian, begitu kata agama.
Prosesi kematian tradisi, penguburannya, serta
kehidupan sesudah kematian terungkap jauh lebih tegas pada puisi ‘Lagu
Kehilangan’ (1994). Namun puisi
ini tak hanya sekadar hal itu. Ia lebih pada kesadaran bahwa kehidupan
(kembali) tradisi adalah sebuah antitesis sekaligus paradoks dari modernisasi.
di jantung malam, kalau kau terbangun
jangan nyalakan rindu
musim tak menyuburkan kenangan,
keranda tengah dirancang dan dipersiapkan
‘Di jantung malam’, di pusat atau inti
kegelapan (yang boleh jadi berbinar cahaya, mungkin cahaya dari modernisasi),
‘jangan nyalakan rindu’. Karena, ‘musim tak menyuburkan kenangan’, musim
modernisasi tak memupuk kisah-kisah lama, kisah-kisah tradisi maupun tradisi
itu sendiri. Dan (ini yang terpenting dari bait ini) ‘keranda tengah dirancang
dan dipersiapkan’, keranda untuk mengusung mayat tradisi, keranda untuk
penguburan tradisi.
Namun, modernitas (yang merupakan anak kandung
modernisasi) adalah juga:
anak cucu waktu yang selalu cemas berbaris
menawarkan kegelisahan pada matahari
wajah-wajah mereka menahan air mata
Sosok modernitas, ternyata pula, tak rela bila
tradisi menemui kematian. Ia pun ‘selalu cemas’ dan ‘berbaris’, ‘menawarkan
kegelisahan’, dan ‘menahan air mata’.
di ujung belakang kau memegang payung hitam
yang mengembang dari lengkung masa silam
di depanmu bergerak pengusung keranda
dan aku tak bisa bicara apa-apa
aku berada di dalamnya
Simbol siapakah atau simbol apakah kau-lirik
dalam larik di atas? Dapatkah ia disebut penghubung antara tradisi dari
modernisasi? Boleh jadi ia juga sekaligus sebagai ‘sesuatu’ yang terombang
tradisi dan terambing modernisasi.
Dapat dilihat dari payung hitam yang
dipegangnya, yang dalam genggamannya. Payung hitam adalah lambang perlindungan,
dalam hal ini memberi perlindungan terhadap mayat tradisi. Sebagai sebuah
perlindungan ‘yang mengembang dari lengkung masa silam’, perlindungan yang
mengembang dari kelenturan masa lalu.
Sementara ‘aku tak bisa bicara apa-apa’ dan
‘aku berada di dalamnya’. Aku-lirik (tradisi) yang telah mati, dan berada di
dalam keranda.
Sedangkan dunia modern tetap saja dipenuhi
kemunafikan. Dunia yang dilafazkan dengan ‘doa-doa’, jampi pemikiran,
retorika-retorika yang sebenarnya hanya mencuci otak tanpa mempedulikan nurani,
tanpa mempedulikan kearifan tradisi. Doa yang membiak, ‘memberanakkan kebisuan
dan hipokirisi’.
aku harus berburu dengan waktu
doa membiak, memberanakkan kebisuan dan
hipokrisi
para penggali telah menutup liang lahatku
meninggalkan padamu bau rindu dan setanggi
yang segera menjadi asing dan menjarak dari
mimpi
………….
Untuk itulah tradisi masih diperlukan, masih
dibutuhkan, sebagai antitesis maupun paradoks modernisasi. Kearifan tradisi
yang menjadi saksi bagi kebebalan peradaban modern. Ia tak boleh dibiarkan
mati, meski ia juga harus dilihat dari cara pandang baru, ke’rindu’an yang
‘melunturkan kenangan dari dadamu’.
………….
aku belum berhenti menjadi saksi
bukankah telah kubisikkan sebelum ini terjadi
jauh di persimpangan hari dan bulan
rindu melunturkan kenangan dari dadamu
Karena itu pulalah, kematian tradisi – yang
pada puisi ini digambarkan sebagai ‘aku’ yang berada di di dalam keranda –
bukanlah akhir, tapi awal dari spirit baru, dari kehidupan yang menawarkan
sesuatu yang baru, yang ‘warnanya merah juga’.
itulah kenapa aku tuliskan jauh hari
sebelum kau menghadiri tragedi ini
aku tidak melarikan diri
akan kau lihat tanganku dalam belantara
tangan-tangan
ya, tentu saja jasadku ada di bawahnya
dan darah yang mengalir di tanganku
segar, menetas dan mengair
deras mencairkan cita-cita dan prasangka
warnanya merah juga
Jika saja masih ada yang meragukan tradisi dan
kebangkitan (kembali) tradisi, tidak pernah yakin pada kearifan dan semangat
tradisi, serta masih ‘tergila-gila’ pada seluruh yang berbau barat ataupun
kebarat-baratan, maka ada pengingat, bahwa sebelum tradisi (kembali) menjadi
hidup, si peragu ‘telah kehilangan lebih dulu’.
itulah,
sebelum aku menjadi lagu
kau telah kehilangan lebih dulu
Sesungguhnya, ada siklus yang tak terelakkan.
Bila modernitas berada pada titik tertinggi, maka tradisi bisa jadi berada pada
titik terendah. Begitu juga sebaliknya. Ada waktu, di mana modernitaslah ‘yang
menggigilkan rindu’, ‘bukan aku’ (tradisi). Tapi ada pula masa, di mana tradisi
maupun modernisasi berada dalam keseimbangan, bagai sebuah timbangan yang
setimbang ‘di tepi dinihari’. Maka,
di tepi dinihari, kalau kau tersentak mimpi
bukan aku yang menggigilkan rindu
kuburku sudah selesai digali,
aku tengah menggumamkan bait terakhir jerit
sunyi
Larik ‘kuburku sudah selesai digali’ bukan
lagi memperlihatkan ‘untuk dikuburkan’ (karena prosesi penguburan tradisi sudah
selesai). Tapi justru sebaliknya, yang digali adalah yang telah
terkubur.Tradisi yang telah terkubur, dibangkitkan kembali. Dan itu, juga sudah
selesai dilakukan. Maka larik penutup, ‘aku tengah menggumamkan bait terakhir
jerit sunyi’, adalah pengingat ataupun penanda, bahwa hidup tradisi meskipun
telah dibangkit kembali, (sesungguhnya) dipenuhi kesunyian, kesenyapan, sampai
ke ujung-ujungnya, sampai ke ‘bait terakhir’. Yang bergemuruh, adalah
modernisasi.
Maka dibutuhkan kesadaran, bahwa kearifan
tradisi tak boleh hilang, tradisi itu sendiri tak dapat diabaikan. Puisi ‘Introspeksi Batu’ (1996-1997) menyiratkan hal itu. Aku-lirik dan
kamu-lirik pada puisi dalam posisi setara, sama-sama rindu, sama-sama meraba
tradisi, sama-sama menepuk-tepuk kisah lama.
duh, telah kita tepuk dulang kenangan
memercik sesak menindih dada
menghempas cermin ke batu
kerinduanku menjalari wajahmu
mencari wajahku
Dan aku-lirik tampak sungguh-sungguh bertekad
kembali ke tradisi, setelah ‘berguru pada alam’.
aku telah pulang berguru pada alam,
dan inilah rumah yang tengah kusiapkan,
istirahat tertunda:
memecah batu, menganyamnya jadi benang tajam
yang akan terkalung di leherku
MEMAHAMI perbenturan antara tradisi dan
modernisasi dapat pula dibaca pada beberapa puisi Muhammad Ibrahim Ilyas
lainnya. Antara lain pada ‘Surat Kepada Anakku’ (2000),‘Solitude’ (2011), ‘Solitude Anak Negeri, 2’ (2012), ‘Simalakama’ (2014), dan ‘Bila Negeriku Berdarah’ (2010).
CATATAN:
Panggilan Dear (pada puisi
‘Kesaksian’) maupun pemakaian kata asing (Inggris) lainnya seperti the show must go on, back, front (‘Catatan Ruang Rias, 1997’), back to nature, black future ( ‘Suara Sepi’), trafficlight ( ‘Solitude Anak Negeri, 2’ dan ‘Surat Awal
Tahun’), serta movement (‘Lagu Kehilangan’) bukanlah sekadar untuk
gagah-gagahan.Tapi sebuah kesengajaan yang merupakan simbol dari kebablasan
bahasa akibat kemodernan (modernitas) tanpa filter, akibat keliaran
modernisasi. Ia boleh jadi dipakai sebagai cemooh terhadap orang atau hidup
yang kebarat-baratan, sekaligus sebagai ungkapan yang sinis, sarkastis, dan
ironis.
Di sisi lain, ia juga jadi perlambang, bahwa
hedonisme, konsumerisme, materialisme, dan kapitalisme yang notabene berasal
dari barat-lah yang telah ikut berperan menghancurkan budaya tradisi. ‘kamu
akan segera tahu,/mereka selalu berperan jauh lebih sempurna dari aktor
manapun’ (‘Catatan Ruang Rias, 1997’).
§ - Kota Depok, 31 Januari 2015
[Tulisan ini dimuat dalam buku kumpulan
puisi Muhammad Ibrahim Ilyas, ZIARAH KEMERDEKAAN, penerbit Arifha, 2015.]
No comments:
Post a Comment