Monday, April 27, 2015

Memahami Puisi-puisi Muhammad Ibrahim Ilyas: TRADISI TAK DAPAT DIRAIH, MODERNISASI TAK DAPAT DITOLAK


/indra nara persada


Di dunia sastra, gerakan kembali ke tradisi setidaknya gencar dilakukan sejak pertengahan 1970-an. Hal ini sebagai paradoks dari globalisasi, atau malah antitesis dari modernisasi. Dari ranah Minangkabau (Sumatera Barat) saja misalnya, puisi-puisi Rusli Marzuki Saria, Chairul Harun, Leon Agusta, Abrar Yusra, Hamid Jabbar, Raudha Thaib alias Upita Agustine, Darman Moenir, dan Harris Effendi Thahar tak luput dari hal itu. Cukup banyak yang tak lagi mengejar kemodernan, tapi justru menerima pengaruh tradisi. Atau juga tetap dalam kemodernan tapi memasukkan/memanfaatkan unsur tradisi. Bisa juga: bergerak dalam atau ‘terjebak’ antara tradisi dan modernisasi. Ini pula yang tampaknya terjadi pada puisi-puisi Muhammad Ibrahim Ilyas (Bram).

Pada puisi ‘Konon’(1983), dapat dibaca,

1.
“Hei, aku luka!”
seorang lelaki - masih muda - berteriak membelah kelam.
”Aku butuh kesumat baru untuk kita diskusikan!”
…………………..

2.
“Hai, aku lapar!”
seorang wanita - masih muda - berteriak membelah kelam.
”Aku butuh derita baru untuk kita seminarkan!”
…………..….….
Pada bait pertama dan kedua itu, jenis kelaminnya masih jelas. Seorang lelaki, seorang wanita, dan masih muda. Sang lelaki ‘luka’, ‘butuh kesumat baru untuk kita diskusikan’. Sang wanita ‘lapar’, ‘butuh derita baru untuk kita seminarkan’. Dan mereka ‘berteriak membelah kelam’.

Dapat disebut, ‘luka’ lelaki itu tersebab tradisi dan ‘lapar’ wanita itu pada modernisasi. ‘Luka’ dan 


‘lapar’ dalam ke’kelam’an negeri, dalam ke’kelam’an tradisi. Dan mereka butuh ‘diskusi’ serta ‘seminar’, dua kata yang cenderung meng-ilmiah dan memperjelas unsur kemodernannya (modernitas) dibanding ota di lepau.

3.
 “Hei, aku merdeka!”
seseorang entah lelaki entah wanita - masih muda – berteriak membelah kelam.
“Aku butuh kelakar baru untuk kita nikmati!”
Di tangannya ada kerinduan yang tercekik
mimpi yang pernah menjanjikan kemakmuran
……………..……

Pada bait ini, jenis kelamin menjadi tidak jelas, tak bisa dibedakan dengan tegas, meski ia ‘merdeka’ dan masih juga ‘berteriak membelah kelam’.

Dapat dikatakan, ia adalah seseorang yang (telah) mem-banci, atau seseorang yang banci. Lebih tepatnya, seseorang yang merdeka tapi banci. Seseorang yang bebas merdeka dalam kemodernannya, sekaligus banci. Karena itu ia bilang, “Aku butuh kelakar baru untuk kita nikmati!”. Ia butuh ‘kelakar baru’, canda baru (yang mungkin saja ‘mancando’/janggal/tak sepantasnya), mainan baru (yang mungkin saja tak mau disebut ‘pamenan’). Dan dalam kemodernannya, dalam ke’merdeka’annya, dalam ke’butuh’annya pada ‘kelakar baru ’untuk di’nikmati’, ‘Di tangannya ada kerinduan yang tercekik/mimpi yang pernah menjanjikan kemakmuran’. Larik ini dapat disebut menyiratkan ‘kerinduan’ pada tradisi tapi ‘tercekik’ pada ‘mimpi yang pernah menjanjikan kemakmuran’.

Ciri banci berulang pada bait keempat, tapi dengan konotasi lebih tegas.

4.
Orang-orang berbisik membelah kelam
Orang-orang bersiap untuk berpesta
“Seorang lelaki dan seorang wanita - masih muda - telah dikorbankan untuk luka dan lapar kita hariini. Pesta kemerdekaan kita,” kata seorang entah lelaki entah wanita - masih muda - memberi keterangan pada wartawan sambil menyerahkan amplop, berisi entah apa.

Bait ini menyebut ‘seorang’, bukan lagi ‘seseorang’. Perhatikan ‘….kata seorang entah lelaki entah wanita - masih muda - memberi keterangan….’.Ini memperlihatkan pergeseran dari ‘seseorang’ yang bersifat semu, kepada ‘seorang’ yang bersifat nyata/jelas penunjukannya. Seorang yang tegas ditunjuk sebagai banci, tapi sekaligus ‘seorang’ yang dapat bermakna jamak/banyak. Simbolisasi  dari orang-orang atau kaum muda (disebut ‘- masih muda –‘) yang merasa ‘merdeka’, merasa lepas dan bebas dari tradisi orang/kaum tua. ‘Orang-orang’ yang ‘berbisik membelah kelam’, yang ‘bersiap untuk berpesta’. Sedangkan yang berkelamin jelas, telah mereka korbankan, ”Seorang lelaki dan seorang wanita - masih muda - telah dikorbankan untuk luka dan lapar kita hari ini. Pesta kemerdekaan kita,”.

Begitulah bait pertama hingga kelima dilakoni oleh orang-ketiga, sebagai ‘seorang’, ‘seseorang’, atau ‘orang-orang’. Maka aku-lirik baru muncul pada bait ketujuh (setelah interval pada bait keenam). Jika sebelumnya berusia ‘masih muda’, maka mungkin saja aku-lirik (sebagai paradoks) dapat dilihat sebagai seorang tua atau setengah tua.

7.
 Aku minum kopi
mengisap sebatang rokok, mengetik sebuah sajak pesanan
lalu membaca koran,
hari sudah pagi.
”Ah, koran-koran sekarang!”
Tiba-tiba
aku ingat kau!

Meski terkesan santai, ternyata aku-lirik ini masih punya hipokrisi, masih aku yang hipokrit. Ia ‘mengetik sebuah sajak pesanan’, dan seperti mencemooh “Ah, koran-koran sekarang!” Barangkali, kehipokritannya itu tak terlepas dari ‘keterjebakan’ antara tradisi dan modernisasi.

Karena itu pula di akhir bait aku-lirik bilang, ‘Tiba-tiba/aku ingat kau!’. Sebuah ketersadaran dan/atau kesadaran pada kedirian, pada keberadaan diri. Sebuah ketersadaran dan/atau kesadaran yang ‘tersenyum’ pada ‘keterjebakan’ antara tradisi dan modernisasi.

Dan puisi ‘Konon’ ini ditutup dengan

8.
kekasih,
bolehkan aku rindu

Izinkan aku rindu. Sebuah metafora yang lebih mempertegas ‘ketersenyuman’, ‘ketersadaran’, dan kesadaran itu.

Kata ‘kau’ pada larik ‘aku ingat kau!’ serta kata ‘kekasih’ pada bait kedelapan dapat menjadi ‘Kau’ dan ‘Kekasih’ (dengan K besar) sebagai penyebut Yang Maha, atau sekadar panggilan ‘kau’ atau ‘kekasih’ untuk seseorang atau seorang.

Keterjebakan antara tradisi dan modernisasi itu dapat pula dilihat pada puisi‘Kesaksian’(1991).

Aku merasa kaya
walau hanya punya kata
Daerah di tanah kelahiran
menerakan jejak:
kata adalah pusaka
Lalu, ketika kita sampai
membuka mata pada hari ini
Bisakah hanya dengan kata
aku menghentikan impian buruk masa depan?
Dear,
aku masih saja merasa kaya
walau hanya punya kata

Hidup dalam pengaruh tradisi terasa pada lima larik awal puisi ini. Meski begitu, ke’kaya’an dengan ‘kata’ itu pula yang membawa aku-lirik pada ketidakyakinan, keraguan, serta mempertanyakan kekuatan ‘kata’itu sendiri. Sebuah keterjebakan. ‘Lalu, ketika kita sampai/membuka mata pada hari ini/Bisakah hanya dengan kata/aku menghentikan impian buruk masa depan?’

Namun tetap saja dengan ungkapan ‘merasa’, aku-lirik merasa batinnya ‘terisi’, walau ia juga seperti menyiratkan ketidakpastian. Sekaligus sebuah kritik terhadap diri, sebuah autokritik. ‘Dear,/aku masih saja merasa kaya/walau  hanya punya kata’.

Pada puisi ‘Ziarah Kemerdekaan’ (2011), lagi-lagi ditemukan keterjebakan antara tradisi dan modernisasi itu. Tertulis,

4.
ketika bermain di halaman sejarah, anakcucu negeri menemukan sejumlah pusara, di pintu gerbang kemerdekaan. entah siapa saja yang berkubur di sana, nisannya tak terbaca. bisa jadi, inilah makam para peneruka yang telah sampai pada kemerdekaannya

anakcucu negeri mengamati pintu gerbang besar itu, bertimbang dengan masa depan, apakah mereka akan masuk ke dalamnya. tak seorangpun berani menduga, seluas apa nyeri harapan yang berada di dalamnya.

Pintu gerbang kemerdekaan tak hanya bisa ditafsir sebagai pintu gerbang kemerdekaan republik ini (Indonesia), tapi juga pintu gerbang kemerdekaan menuju sesuatu yang modern, meninggalkan bebauan tradisi. Dan ‘anakcucu negeri’ tak bisa mengenal siapa yang berkubur di sana, tak bisa mendeteksi apa atau siapa yang telah dimakamkan itu. Namun ada dugaan, ‘bisa jadi inilah makam para peneruka yang telah sampai pada kemerdekaannya’. Sebuah paradoks. Mereka, para peneruka itu, telah masuk/berada di dunia modern. Tapi bermakam di pintu gerbang (yang menyiratkan antara tradisi dan modernisasi).

 ‘Anakcucu negeri’(yang pada puisi ini menyimbolkan anak-anak tradisi) pun ‘bertimbang dengan masa depan’, apakah mereka akan memasuki dunia yang berlain dengan tradisi mereka? Tak seorang pun berani menduga, memperkirakan, seluas apa keperihan/kepahitan dari harapan yang berada di dalamnya. Karena harapan tak hanya asa yang bakal membawa kenikmatan, tapi juga menghadirkan keperihan/kepahitan, maka mereka pun terjebak di antara tradisi dan modernisasi.

Keterjebakan di antara tradisi dan modernisasi, melahirkan pula keterbelahan. Keterbelahan dalam bersikap serta menyikapi tradisi dan modernisasi itu sendiri. Pada puisi‘Surat Lain Tahun’ (2014) dapat ditemukan hal itu.

……………. aku berhenti membaca, memandang melalui jendela yang sama, …………… migrasi detik, menit, jam,hari dan bulan telah menjelma berhala, dan cicitcucu adam memujanya: meniup terompet, membakar petasan dan kembang api. …………….. pada titik yang dinamai tengah malam, lihatlah gerombolan ekstase itu, mulut-mulut khusuk yang melafalkan sepuluh angka diurut mundur, berjamaah dan bersorak sorai merapal mantra yang sama: selamat tahun baru!
………………… maaf, tak kulihat tahun yang baru, bahkan sulit bagiku paham tentang apa yang mereka pertengkarkan, mereka sepakati atau mereka sebut sebagai tahun. angka dusta tak berhingga dan ritus hipokrisi menderet ukur, ………………….

……………….. aku sedang belajar berhitung agar bisa menemukan lain tahun. sabarlah, akan kukirimkan sepatu baru untuk kaoru.

Tahun Baru adalah salah satu perayaan yang mengglobal, salah satu ciri modernisasi, sekaligus penuh kepalsuan. Aku-lirik terasa menantang perayaan itu dengan keras, dengan menyebutnya ‘angka dusta  tak berhingga dan ritus hipokrisi menderet ukur’. Namun, kemudian ia pun terbelah. Keterbelahan yang tampak ketika menyatakan, ‘aku sedang belajar berhitung agar bisa menemukan lain tahun.sabarlah, akan kukirimkan sepatu baru untuk kaoru’. Sebuah sikap mendua, karena tradisi taklah dapat diraih (begitu saja), modernisasi tak pula dapat ditolak.

KECENDERUNGAN manusia di manapun, adalah perubahan. Kita memang sedang berubah. Mencoba meninggalkan dan menanggalkan hal-hal yang berbau tradisional. Tapi sekaligus membaru dalam kegamangan, dalam ke’galau’an dan ketidakpastian menerima atau tidak sebuah momentum perubahan yang disebut modernisasi.

Metafora-metafora tentang kegamangan/ke’galau’an pada modernisasi itu dapat ditemukan pada puisi ‘Melodi Hitam’ (1994).

….. Pabrik senjata terus dibangun dan sawah-sawah terus ditenggelamkan, kita sedang berubah: meninggalkan catatan usang dan membaru dengan entah yang membawa entah ke entah mana.

Di tengah konser itu, hanya kita yang terpisah, tak bisa membunyikan apa-apa, ……………..

Di tengah irama pembaruan itu, di tengah orkestrasi yang bernama modernisasi itu, ‘hanya kita yang terpisah, tak bisa membunyikan apa-apa’, karena kita masih saja terikat dengan tradisi, dengan segala hal yang berbau tradisional. Larik ini sekaligus seperti menyatakan, bahwa dengan tradisionalitas, kita bisa saja terpisah dari modernitas, tertinggal serta ketinggalan kereta, dalam ketakberdayaan.

Ketakberdayaan itu jugalah yang terlihat pada puisi ‘Suara Sepi’ (1994-1997).

Demikianlah, orangtuamu terperangkap gedung tinggi, meja kursi, makan siang, pub, hamburger dan jalan layang sambil tak henti menggumam: back to nature, back to nature!Dan tak ada yang bisa kulakukan ketika melihat spanduk dan postermu membentang kata-kata: black future!

Sambil menggumam ‘back to nature, back to nature!’ (kembali ke alam) dalam makna kembali ke tradisi, ‘orang tuamu terperangkap’. Dan aku-lirik tak berdaya ‘ketika melihat spanduk dan postermu membentang kata-kata: black future!’ Ini seperti anak-anak muda yang merasa hidup di dunia masa kini, dunia modern yang konsumeristis dan kapitalistis, ketika mengibar-kibarkan spanduk saat menonton konser atau pertunjukan band dengan massa melimpah. Dan‘Black Future’ (Masa Depan Gelap) adalah judul album serta lagu dari sebuah band trash metal yang bernama‘Vektor’, berasal dari Amerika Serikat. Album ‘Black Future’ dirilis tahun 2009. Sedangkan Vektor berdiri sejak 2002. (Secara tarikh, ini memang membingungkan, karena puisi ‘Suara Sepi’ telah diciptakan sejak 1994-1997.Tapi, boleh saja kan, sebuah puisi mendahului zamannya?)

‘PERTEMPURAN besar’ antara tradisi dan modernisasi, antara tradisionalitas dan modernitas, antara tradisionalisme dengan modernisme, terasa pada puisi ‘Catatan Ruang Rias, 1997’. Pada puisi ini aku-lirik dan kamu-lirik adalah simbol tradisionalisme, lambang kemapanan. Sedangkan ‘anak-anakku’, ‘anak-anakmu’, serta ‘penonton’ adalah simbol hedonisme, konsumerisme, materialisme, kapitalisme yang berbaju modernisme.


CATATAN RUANG RIAS, 1997

aku memang sedang berbenah
bila puisi terakhir sudah dituliskan, tak akan ada tempat buat kata-kata
anak-anakku sedang sibuk mempersiapkan bahasa baru

wajah-wajah terus dipoles dan mimpi mengabur dalam legenda
siapapun yang lebih dulu mengetuk pintu, kamu atau aku,
yang pulas dalam harap tak akan bangun lagi
anak-anakmu akan segera menyusun prosesi,
liang lahat masa depan menganga
dan kaca yang petak umpet di sekeliling kita akan melahapmu
nyalakanlah lampu di seputar kaca riasmu,
nyatakanlah topeng mana yang akan kau kenakan: menyembunyikan
ketakberdayaan atau memperbesar ruang kepura-puraan
the show must go on, panggung menunggumu
di back atau di front para penonton mengarahkan senapan
kamu akan segera tahu,
mereka selalu berperan jauh lebih sempurna dari aktor manapun

aku memang sedang berkemas
sebelum anak-anakku memakai bahasa baru
yang tak memberi tempat bagi ziarah
jadi, kuburkan aku

japan, 2404


Sungguh miris, sekaligus ironis dan tragis, jika hasil akhirnya adalah ‘aku memang sedang berkemas/sebelum anak-anakku memakai bahasa baru/yang tak memberi tempat bagi ziarah/jadi, kuburkan aku’. Kepastiannya adalah ‘anak-anakku memakai bahasa baru/yang tak memberi tempat bagi ziarah’.Apapun bahasa yang dipakai ‘anak-anakku’, tak lagi memberi tempat bagi ‘ziarah’ pemikiran, menutup peluang untuk ‘kenangan’ (sekaligus ‘harapan’). Maka, ‘jadi, kuburkan aku’. Sebuah permintaan sekaligus kesadaran yang sungguh miris untuk mematikan tradisi, sebuah tragedi kematian yang sungguh tragis, sebuah kematian tanpa peluang untuk diziarahi.

Karena itu tak salah jika pada puisi ‘Suatu Kali di Hari Depan’ (1993) disebutkan,

suatu kali di hari depan
ketika tak ada ruang bagi kenangan dan harapan
sempatkah kau menjambangi nisanku?

Tradisi sungguh telah mati ketika tak ada lagi ‘ruang bagi kenangan dan harapan’. Meski, tetap saja aku-lirik melempar harap lewat sebuah tanya, ‘sempatkah kau menjambangi nisanku?’. Melempar harap, bahwa sesungguhnya, secara tersirat dan tersuruk, tak ada kematian yang sempurna, tak ada kematian yang abadi. Ada kehidupan sesudah kematian, begitu kata agama.

Prosesi kematian tradisi, penguburannya, serta kehidupan sesudah kematian terungkap jauh lebih tegas pada puisi ‘Lagu Kehilangan’ (1994). Namun puisi ini tak hanya sekadar hal itu. Ia lebih pada kesadaran bahwa kehidupan (kembali) tradisi adalah sebuah antitesis sekaligus paradoks dari modernisasi.

di jantung malam, kalau kau terbangun
jangan nyalakan rindu
musim tak menyuburkan kenangan,
keranda tengah dirancang dan dipersiapkan

‘Di jantung malam’, di pusat atau inti kegelapan (yang boleh jadi berbinar cahaya, mungkin cahaya dari modernisasi), ‘jangan nyalakan rindu’. Karena, ‘musim tak menyuburkan kenangan’, musim modernisasi tak memupuk kisah-kisah lama, kisah-kisah tradisi maupun tradisi itu sendiri. Dan (ini yang terpenting dari bait ini) ‘keranda tengah dirancang dan dipersiapkan’, keranda untuk mengusung mayat tradisi, keranda untuk penguburan tradisi.

Namun, modernitas (yang merupakan anak kandung modernisasi) adalah juga:

anak cucu waktu yang selalu cemas berbaris
menawarkan kegelisahan pada matahari
wajah-wajah mereka menahan air mata

Sosok modernitas, ternyata pula, tak rela bila tradisi menemui kematian. Ia pun ‘selalu cemas’ dan ‘berbaris’, ‘menawarkan kegelisahan’, dan ‘menahan air mata’.

di ujung belakang kau memegang payung hitam
yang mengembang dari lengkung masa silam
di depanmu bergerak pengusung keranda
dan aku tak bisa bicara apa-apa
aku berada di dalamnya

Simbol siapakah atau simbol apakah kau-lirik dalam larik di atas? Dapatkah ia disebut penghubung antara tradisi dari modernisasi? Boleh jadi ia juga sekaligus sebagai ‘sesuatu’ yang terombang tradisi dan terambing modernisasi.
Dapat dilihat dari payung hitam yang dipegangnya, yang dalam genggamannya. Payung hitam adalah lambang perlindungan, dalam hal ini memberi perlindungan terhadap mayat tradisi. Sebagai sebuah perlindungan ‘yang mengembang dari lengkung masa silam’, perlindungan yang mengembang dari kelenturan masa lalu.

Sementara ‘aku tak bisa bicara apa-apa’ dan ‘aku berada di dalamnya’. Aku-lirik (tradisi) yang telah mati, dan berada di dalam keranda.

Sedangkan dunia modern tetap saja dipenuhi kemunafikan. Dunia yang dilafazkan dengan ‘doa-doa’, jampi pemikiran, retorika-retorika yang sebenarnya hanya mencuci otak tanpa mempedulikan nurani, tanpa mempedulikan kearifan tradisi. Doa yang membiak, ‘memberanakkan kebisuan dan hipokirisi’.

aku harus berburu dengan waktu
doa membiak, memberanakkan kebisuan dan hipokrisi
para penggali telah menutup liang lahatku
meninggalkan padamu bau rindu dan setanggi
yang segera menjadi asing dan menjarak dari mimpi
………….

Untuk itulah tradisi masih diperlukan, masih dibutuhkan, sebagai antitesis maupun paradoks modernisasi. Kearifan tradisi yang menjadi saksi bagi kebebalan peradaban modern. Ia tak boleh dibiarkan mati, meski ia juga harus dilihat dari cara pandang baru, ke’rindu’an yang ‘melunturkan kenangan dari dadamu’.

………….
aku belum berhenti menjadi saksi
bukankah telah kubisikkan sebelum ini terjadi
jauh di persimpangan hari dan bulan
rindu melunturkan kenangan dari dadamu

Karena itu pulalah, kematian tradisi – yang pada puisi ini digambarkan sebagai ‘aku’ yang berada di di dalam keranda – bukanlah akhir, tapi awal dari spirit baru, dari kehidupan yang menawarkan sesuatu yang baru, yang ‘warnanya merah juga’.


itulah kenapa aku tuliskan jauh hari
sebelum kau menghadiri tragedi ini
aku tidak melarikan diri
akan kau lihat tanganku dalam belantara tangan-tangan
ya, tentu saja jasadku ada di bawahnya
dan darah yang mengalir di tanganku
segar, menetas dan mengair
deras mencairkan cita-cita dan prasangka
warnanya merah juga

Jika saja masih ada yang meragukan tradisi dan kebangkitan (kembali) tradisi, tidak pernah yakin pada kearifan dan semangat tradisi, serta masih ‘tergila-gila’ pada seluruh yang berbau barat ataupun kebarat-baratan, maka ada pengingat, bahwa sebelum tradisi (kembali) menjadi hidup, si peragu ‘telah kehilangan lebih dulu’.

itulah,
sebelum aku menjadi lagu
kau telah kehilangan lebih dulu

Sesungguhnya, ada siklus yang tak terelakkan. Bila modernitas berada pada titik tertinggi, maka tradisi bisa jadi berada pada titik terendah. Begitu juga sebaliknya. Ada waktu, di mana modernitaslah ‘yang menggigilkan rindu’, ‘bukan aku’ (tradisi). Tapi ada pula masa, di mana tradisi maupun modernisasi berada dalam keseimbangan, bagai sebuah timbangan yang setimbang ‘di tepi dinihari’. Maka,

di tepi dinihari, kalau kau tersentak mimpi
bukan aku yang menggigilkan rindu
kuburku sudah selesai digali,
aku tengah menggumamkan bait terakhir jerit sunyi

Larik ‘kuburku sudah selesai digali’ bukan lagi memperlihatkan ‘untuk dikuburkan’ (karena prosesi penguburan tradisi sudah selesai). Tapi justru sebaliknya, yang digali adalah yang telah terkubur.Tradisi yang telah terkubur, dibangkitkan kembali. Dan itu, juga sudah selesai dilakukan. Maka larik penutup, ‘aku tengah menggumamkan bait terakhir jerit sunyi’, adalah pengingat ataupun penanda, bahwa hidup tradisi meskipun telah dibangkit kembali, (sesungguhnya) dipenuhi kesunyian, kesenyapan, sampai ke ujung-ujungnya, sampai ke ‘bait terakhir’. Yang bergemuruh, adalah modernisasi.

Maka dibutuhkan kesadaran, bahwa kearifan tradisi tak boleh hilang, tradisi itu sendiri tak dapat diabaikan. Puisi ‘Introspeksi Batu’ (1996-1997) menyiratkan hal itu. Aku-lirik dan kamu-lirik pada puisi dalam posisi setara, sama-sama rindu, sama-sama meraba tradisi, sama-sama menepuk-tepuk kisah lama.

duh, telah kita tepuk dulang kenangan
memercik sesak menindih dada
menghempas cermin ke batu
kerinduanku menjalari wajahmu
mencari wajahku

Dan aku-lirik tampak sungguh-sungguh bertekad kembali ke tradisi, setelah ‘berguru pada alam’.

aku telah pulang berguru pada alam,
dan inilah rumah yang tengah kusiapkan,
istirahat tertunda:
memecah batu, menganyamnya jadi benang tajam
yang akan terkalung di leherku

MEMAHAMI perbenturan antara tradisi dan modernisasi dapat pula dibaca pada beberapa puisi Muhammad Ibrahim Ilyas lainnya. Antara lain pada ‘Surat Kepada Anakku’ (2000),‘Solitude’ (2011), ‘Solitude Anak Negeri, 2’ (2012), ‘Simalakama’ (2014), dan ‘Bila Negeriku Berdarah’ (2010).


CATATAN:
Panggilan Dear (pada puisi ‘Kesaksian’) maupun pemakaian kata asing (Inggris) lainnya seperti the show must go on, back, front (‘Catatan Ruang Rias, 1997’), back to nature, black future ( ‘Suara Sepi’), trafficlight ( ‘Solitude Anak Negeri, 2’ dan ‘Surat Awal Tahun’), serta movement (‘Lagu Kehilangan’) bukanlah sekadar untuk gagah-gagahan.Tapi sebuah kesengajaan yang merupakan simbol dari kebablasan bahasa akibat kemodernan (modernitas) tanpa filter, akibat keliaran modernisasi. Ia boleh jadi dipakai sebagai cemooh terhadap orang atau hidup yang kebarat-baratan, sekaligus sebagai ungkapan yang sinis, sarkastis, dan ironis.

Di sisi lain, ia juga jadi perlambang, bahwa hedonisme, konsumerisme, materialisme, dan kapitalisme yang notabene berasal dari barat-lah yang telah ikut berperan menghancurkan budaya tradisi. ‘kamu akan segera tahu,/mereka selalu berperan jauh lebih sempurna dari aktor manapun’ (‘Catatan Ruang Rias, 1997’).

§         - Kota Depok, 31 Januari 2015

 [Tulisan ini dimuat dalam buku kumpulan puisi Muhammad Ibrahim Ilyas, ZIARAH KEMERDEKAAN, penerbit Arifha, 2015.]


No comments: